
HINDUSTAN
Hiruk pikuk kota Jakarta yang padat masih tak dapat mengisi hati Lea yang tengah terduduk di sebuah taman dengan berderai air mata.
Tergenggamnya sebuah potret seorang laki-laki yang selalu mengisi hatinya. Laki-laki berwajah Hindustan yang terpampang di selembar kertas tengah ditangisinya dengan rasa sakit yang mendalam.
“Kenapa, Rohit?” Lirihnya sembari masih tertunduk, ia tak kuasa untuk menegakkan kepalanya dengan hati yang tercabik-cabik.
Terasa kehangatan sebuah tangan di bahunya, sebuah mata yang selama ini memandanginya dengan penuh arti kini memandanginya kembali. Lea mendongakkan kepalanya, wajah yang sudah tak asing dengan mata biru dan kulitnya yang putih. Seketika ia melompat dan memeluk laki-laki itu.
Kini tangisan tak dapat ia bendung lagi, air mata itu kini mengalir deras, “Marko.” Lirihnya.
“Semuanya akan baik-baik saja.” Marko memeluknya begitu erat seakan tak ingin melepaskannya.
Lea dengan perlahan melepaskan pelukannya dan berdiri meskipun badannya sudah terlalu lemah, “Kamu tahu apa yang Rohit katakan, bukan?” tanya Lea.
Marko dengan wajah sendunya mengangguk perlahan, “Tapi, itu bukan akhir dari segalanya, Lea.”
“Ini sebuah akhir, Marko, ini adalah akhir.” Dirinya kini tak dapat tenang. Apa yang didengarnya dari Rohit begitu memukulnya.
“Ssssttt.” Marko menangkup kedua dagunya, “Everything is gonna be allright.” Tatapan keduanya begitu terkunci.
“No.” Ucap Lea lemah.
“It’s OK, karena aku men-”
“Lea!” Sebuah panggilan membuyarkan mereka berdua, seorang laki-laki berdiri tak jauh dari mereka. Laki-laki yang sama yang ada di genggaman Lea, Rohit.
“Rohit.” Gumam Lea.
Lea seketika pergi menghampiri Rohit tanpa menghiraukan Marko yang masih terpaku, “Rohit.” Laki-laki itu membalas dengan senyumannya.
“Aku buta selama ini, aku terlalu menutup mata dengan cinta dan perhatian yang kau berikan padaku.”
Rohit menarik nafas dengan matanya yang sudah berkaca-kaca. “Berikan aku satu kesempatan lagi, berikan aku kesempatan untuk membalas apa yang selalu kau berikan padaku.”
“Aku terlalu munafik jika mengatakan aku tidak mencintaimu, namun, dengan semua perbedaan yang ada di antara kita memaksaku untuk berpura-pura mengatakan aku akan menikah dengan wanita lain.”
“Ya, Lea, aku hanya berpura-pura untuk mengatakan aku akan menikah dengan wanita lain. Paksaan silih berganti memaksaku melakukan itu semua. Tapi, sekarang aku akan menyingkirkan semua perbedaan itu, perbedaan yang selalu menghalangi kita untuk bersama.”
“Begitu-pun dengan diriku yang terpukul, sama dengan apa yang kamu rasakan. Kini, aku tak dapat berpura-pura lagi, Lea. I love you.”
Lea masih terpaku dan mencerna dengan seksama kalimat Rohit, “Will you marry me?” Kalimat itu, kalimat yang baru saja Rohit katakan membuatnya sekarang mengerti.
Hening, hanya hening beberapa saat di antara mereka, hanya terdengar suara lalu lintas yang ramai dan beberapa suara klakson yang menggema.
Marko dengan hatinya yang juga sakit meninggalkan mereka berdua, langkahnya menjadi lunglai.
Ia berjalan menyusuri trotoar Jakarta tanpa arah, wajahnya yang sendu kini berubah menjadi sebuah senyuman.
“Cinta.” gumamnya.
“Mungkin cintaku pada Lea begitu besar, namun cinta yang sesungguhnya dapat mengikhlaskan dan melihat Lea bahagia dengan Rohit.”
Matanya kini berkaca-kaca, “Walaupun rasa sakit ini begitu besar, masih besar rasa bahagiaku melihat Lea bahagia dengan cintanya.”
Samar-samar terdengar sebuah suara memanggil namanya dari arah belakang. Marko menghentikan langkahnya.
“Marko!” Suara itu diikuti dengan suara napas yang terengah-engah.
Marko begitu terkejut setelah membalikkan badannya dan mengetahui siapa yang sudah ada di depannya kali ini, “Lea.” ucapnya lemah.
“Begitu pula dengan Rohit yang terlalu menutup matanya, begitu pula dengan diriku.”
“Aku terlalu menutup mata dengan semua cinta yang kau berikan, bahkan di masa sulit kau yang ada di sisiku, dan bukan orang lain.”
—
“Will you marry me?”
Senyum kini terukir di bibir Lea, rasa bahagianya kini membludak. Namun, seketika bayangan Marko terlintas di pikirannya.
Ia pun menengok ke belakang dimana posisi Marko seharusnya berada, namun lelaki itu sudah tak ada di posisinya.
Ia menarik napas, ada rasa berat kali ini. Marko, hanya nama itu yang sekarang ada di pikirannya.
Ia melangkahkan kakinya dua langkah ke belakang, sesuatu terjadi, sesuatu ia sadari. Ia menggeleng dengan sangat yakin, “Tidak, Rohit. Begitu pula denganmu, aku juga menutup mataku terlalu erat dan memasang sebuah gembok di hatiku hanya untukmu, hingga tanpa aku sadari bahwa ada sebuah kunci yang senantiasa mencoba untuk membukanya.”
“Maaf, Rohit, maaf.” seketika ia langsung berlari ke arah di mana kemungkinan Marko akan pergi.
—
Ia mengeluarkan sebuah foto dari saku kemejanya, ia menyobek foto itu di hadapan Marko dengan sangat yakin.
“Apa yang kamu lakukan?” Marko masih tak percaya dengan apa yang dilakukan Lea.
“Kunci yang selama ini mencoba membuka gemboknya telah berhasil, I love you.”
Marko masih tidak percaya, “Kamu bersungguh-sungguh?”
Lea dengan senyuman yang terukir manis di bibirnya mengiyakan pertanyaan Marko, membuat Marko begitu bahagia dan langsung memeluk Lea.
“I Love You.”
By: Jihan Anindya Sisfia (XII TKJ 1)