CANTIK DI BERKAS WAKTU

CANTIK DI BERKAS WAKTU

“Aku mendengar banyak hal tentang kamu….”
~
Waktu sudah memperlihatkan senjanya. Senja yang tidak sedikit pun jingga. Dan benar. Hujan belum turun, bahkan gerimis masih enggan menampakkan basahnya. Dalam rangka menentramkan hati, aku berkata pada diri sendiri: alangkah enak berkencan dengan berjalan kaki atau sekadar duduk berdua di alun-alun. Berbincang. Tidak perlu bermesaraan, karena cuaca sudah cukup mewakili segenap nuansa yang katanya disebut romantis.
~
Hatiku berdesir. Di alun-alun kota, ia tampak cantik sore itu. Ia berjalan perlahan mendekatiku. Masih dengan wangi khas yang ia miliki. Wangi yang membawaku pada masa lalu.
“Kamu masih suka menyendiri di tengah keramaian.”
Ia berdiri di depanku. Sebuah permulaan yang cukup mengejutkan. Aku tersenyum di hadapannya setelah mungkin lima tahun tidak bertemu.
“Caramu memegang gelas juga masih sama. Ayolah bercerita. Sudah lama kita tidak bertemu.”
Kembali kupandangi sosok yang tengah berdiri di hadapku ini. Aku mencoba tersenyum kembali. Sambutan yang cukup terlambat kurasa.
“Ternyata kamu masih gampang grogi, ya? Gelasmu berguncang seperti itu.”
Ia terbahak renyah sekali. Tas masa putih abu-abu itu masih juga ia kenakan. Yang agak sedikit berbeda adalah pada isi tas tersebut. Ia sedikit membuatku terkejut karena perubahan. Benda yang dikeluarkan dari dalam tasnya itu adalah rokok. Tadinya kupikir, ia akan memberikan rokok itu padaku. Dugaan yang meleset. Bahkan, ia malah memberiku korek sebagai isyarat agar aku dapat membantunya menyalakan rokok.
Lalu, aku menemukan kalimat yang paling tepat untuk kukatakan saat ini. “Kamu tidak cukup bahagia?”
Ia mengernyitkan dahi, tak mengerti. Sembari tersenyum, aku menunjuk rokok yang tengah dipegangnya. Pertanda bahwa mungkin ia sedang kalut, sedang tidak cukup bahagia, lalu memutuskan untuk merokok.
“Permulaan yang terlalu cepat. Aku cukup bahagia.”
~
Angin berdesir membawa wangi dingin yang melibatkan rindu. Ini rindu yang masih berkelebat, yang sulit aku bendung. Dalam rangka gengsi, maka berbagai jurus bisa dengan baik kuperankan agar yang dinamakan rindu tersebut bisa terselubung. Entah bagaimana dengannya. Risa. Sosok mantan kekasihku yang naif menyalakan rokok di hadapanku saat ini. Dulu ia selalu memberi kejutan dengan hal romantis, seperti misalnya dengan bernyanyi dan memetik gitar. Lantas, aku dapat berekspresi: ia memiliki selera lagu yang bagus. Atau tiba-tiba ia membelai wajahku. Lantas aku dapat berekspresi: ia punya payung keteduhan. Terlepas dari kenaifan sikapnya saat ini, tetap saja bagiku, Risa, masih memegang tahta itu. “Ia punya payung keteduhan.”
“Kamu mungkin yang tidak bahagia. Kabarmu baik?”
Aku mengangguk dengan beragam tingkah yang gagal tenang. Ia menangkap gelagatku dengan sempurna.
“Kamu berbohong. Kamu sedang berbohong, Aksel. Bahasa tubuhmu mengatakan kalau kamu sedang berbohong.”
“Tidak, aku bahagia. Setidaknya aku cukup bahagia.”
~
Ia berjalan perlahan dan duduk di sampingku. Aku melihatnya dari sisi kiri wajahnya. Ini posisi termanis menurutku. Karena dengan begitu aku bisa leluasa mencuri pandang. Posisi yang sangat cantik dan ia tahu itu.
“Masih tetap sendiri?”
“Hei, bukan berarti aku tidak bahagia, Ris.”
“Lho, aku kan bertanya, apakah kamu masih sendiri. Pertanyaan tentang bahagia sudah lewat. Dengarkan aku makanya.”
Ia sedikit cemberut. Tertawa kecil. Seperti hendak meledek atau apa, aku tak mengerti. Dalam hati aku mengutuk pertemuan ini. Ia cukup berani berbasa-basi, namun tepat sasaran. Itulah khas darinya, Risa, mantan kekasihku yang entah ke berapa. Senyuman sungging kembali ia berikan.
“Sekarang pacaran sama siapa?”
“Pertanyaanmu terlalu cepat.”
~
Ia tertawa lepas. Sialan. Ia begitu percaya diri pada pertemuan ini. Seolah sudah ia persiapkan segala sesuatunya, tapi tidak demikian denganku. Aku sangat kacau menghadapinya. Jika boleh memilih, aku lebih siap bertemu hujan daripada bertemu dengannya. Lalu ia menyalakan sebatang rokok lagi.
“Sejak kapan merokok?”
“Setahun setelah menikah.”
Inikah kejutan selanjutnya? Kenaifan sikapnya bisa membuatku sedikit geli. Namun, pernyataan statusnya seolah membuatku ingin menenggelamkan diri saja bersama hujan. Sayangnya, hujan masih enggan runtuh dan meruntuhkan hatiku.
Mudah saja baginya untuk menaklukan hati bermacam-macam pria. Ia cantik dan ia tahu kalau dirinya cantik. Kenyataan ini seolah tidak adil bagiku. Aku terperanjat. Sungguh menyedihkan ekspresiku kali ini. Dan kembali aku gagal menguasai diri. Mungkin ia tahu, kata ‘menikah’ membuatku merasa tidak nyaman.
“Eh, sama siapa sekarang?” Ia mengedip dan kali ini aku memahami arti kedipannya hanya sebatas memamerkan kegenitannya. Agak meneduhkan bagiku. Sekali lagi, ia memang punya potensi untuk melayarkan payung keteduhan.
“Rahasia.”
“Rahasia atau tidak punya?”
“Benarkah kamu sudah menikah, Ris?”
“Susah untuk disebut. Jadi, rahasia sajalah, ya?”
Sialan! Jawaban yang tidak tegas. Namun, entah mengapa cuaca sore ini seolah menegaskan bahwa ia sedang tidak bermain-main dengan pernyataan tentang status yang kini sudah disandangnya itu. Lalu, kepada siapa aku bisa mendapatkan jawaban bijaksana ini? Kepada langit, mentari, gemuruh, atau hujankah?
“Kamu kan selalu seperti itu, Ris. Katanya setia, tapi selalu ada di mana-mana.”
“Kamu menuduhku.”
“Jangan berkelit. Sudah dari dulu kamu seperti itu kan, Ris?”
“Pacarmu siapa sekarang, Aksel? Pilihlah yang terbaik.”
“Kenapa memangnya? Kamu mau menemui pacarku? Atau kamu sedang cemburu?”
~
Aku menangkap reaksi aneh pada dirinya. Wangi cemburu seolah sedang menggelayuti hatinya. Wajahnya merah padam ketika kulemparkan tatapan tajam. Kali ini, ia yang salah tingkah, gagal mempertahankan ketenangan diri. Aku suka. Pertama, karena wajahnya yang merah padam dan ia cantik. Kedua, karena ia mencubitku manja dan ia cantik. Dan yang ketiga, karena aku yakin ia sedang cemburu dan ia cantik.
“Kamu cemburu, ya?”
“Tidak!”
“Kamu tengah cemburu. Mengakulah.”
“Tidak. Jangan menggodaku. Aku cukup bahagia dengan pernikahanku.”
“Lho, aku kan bertanya kamu cemburu atau tidak, bukan bahagia atau tidak dengan pernikahanmu. Makanya, dengarkan aku, Risa.”
“Aku serius, Aksel. Aku bahagia.”
“Aku mencurigai kebahagiaan yang ditekankan berulang-ulang.”
“Hei, Aksel. Dengarkan aku! Dibutuhkan dua orang untuk bahagia.”
“Kata siapa? Aku sendirian dan aku bahagia.”
“Tadi katanya sudah punya pacar?”
“Aku hanya ingin membuatmu cemburu. Mengertikah kamu?
Ia kesal lantas mencubitku dengan genit. Rasa cubitan ini masih sama dengan lima tahun lalu. Apakah ini juga berlaku pada perasaannya terhadapku? Risa, cantik sekali caramu menghiasi pertemuan kita sore ini. Dengan berbagai perubahan naif, hingga rasa yang masih sama.
~
“Aksel, aku sudah mendapatkan kebahagiaan dengan lelaki pilihanku sendiri. Pokoknya, aku tunggu undangan darimu. Aku juga berhak tahu siapa wanita beruntung pilihanmu nantinya.”
“Kamu masih menyayangiku, ya?” Kali ini aku yang terkejut dengan pertanyaan yang baru saja kulayangkan untuknya. Ini lebih naif daripada kebiasaan merokok Risa yang katanya bermula sejak setahun usia pernikahannya.
Ia juga tidak kalah terkejut dengan kalimatku barusan. Aku menangkap raut wajahnya yang seolah ingin mengatakan ‘gila’.
“Maaf.” Dan kami pun terdiam sejenak.
~
“Aku mau bertanya dan tolong jawab dengan jujur ya, Ris?”
Aku menangkap desiran gemuruh di dadanya. Ia seolah tak sabar ingin mendengar pertanyaanku. Atau mungkin malah ada sekelebat bayangan kalau-kalau ia tak bisa menjawab pertanyaanku dengan baik dan gagal menguasai diri.
“Sebenarnya waktu itu, aku yang kedua atau kedua belas?”
Ia tertawa meledak mendengar kekonyolanku yang tidak juga berkurang. Masih dari posisi samping kiri aku mencuri pandang raut wajahnya. Renyah dan cantik sekali. Bagaimanapun, aku menangkap dirinya sebagai makhluk yang cantik. Dalam kondisi dan keadaan apa pun. Sialan!
“Kenapa dulu kamu meninggalkanku?” Ini pertanyaan konyol lainnya yang kembali kubuat dan aku sendiri kaget dengan pertanyaaan ini.
“Kamu? Sudahlah.”
“Please.” Kali ini aku berharap ia dapat memberi jawaban dengan gaya bijaksana dan kelugasannya.
“Sekarang sama siapa? Kriteria bagaimana lagi yang kamu cari, Aksel? Kalau mencari yang sepertiku, ya, jelas tidak ada lagi di dunia ini.”
Ia begitu percaya diri dan aku suka sifatnya yang satu ini. Memang benar. Tidak ada satu orang pun yang tercipta sama. Apalagi memiliki persamaan watak. Apalagi memiliki kecantikan yang menurutku sempurna, seperti Risa. Apalagi ia masih memegang payung keteduhan itu. Apalagi saat ini aku senang sekaligus takut ia pergi dan aku kehilangan jejak langkahnya.
“Tidak punya pacar.” Aku pun menjawab mantap.
“Sedang!”
“Sedang tidak punya!”
Kembali aku tersenyum. Ia terlihat menggemaskan ketika mengucapkan kata ‘sedang’. Sekaligus aku bingung pertanyaan apalagi yang akan diajukannya untukku.
~
“Aksel.”
“Hmm..”
“Aku sering berdebar ketika ada orang yang sedang membicarakanmu. Kukira, kita tidak akan bertemu lagi. Tapi ternyata perkiraanku salah.”
“Akhirnya kamu mengaku juga, Ris.”
“Setidaknya kamu cukup bahagia dengan kesendirianmu. Aku tidak cukup baik untuk mengajarkanmu tentang masa depan. Aku tahu kamu lebih cerdas menangkap berbagai kebahagiaan dan masa depan.”
Aku melihat kedewasaan dari kalimat itu. Ini perubahan selanjutnya yang kutangkap darimu. Sebenarnya masih banyak yang ingin aku ungkapkan padamu. Tentang rasa rinduku, rasa ketidaksiapanku pada pertemuan kita sore ini, dan juga rasa cintaku padamu yang masih utuh bulat bergelayut mesra.
~
“Ada banyak hal yang kadang ingin kubendung, Aksel. Benar, kita berdua punya kenangan di masa lalu yang cukup indah dan labil. Tapi untuk selanjutnya, waktu memutuskan agar kita melakoni masa depan dengan jalan masing-masing. Suamiku sudah menunggu di Malioboro. Aku mesti pulang.”
Aku menatap erat tajam mata mantan kekasihku itu. Dari tatapan ini seolah telah mewakili sederet kalimat yang menegaskan, ‘tetaplah di sisiku, tetaplah menjadi mantan kekasihku yang cantik dan sempurna’. Ini seperti mimpi. Aku ingin kadang melepaskan diri saja dari berbagai kerumitan hidup yang tidak siap kujalani. Sejujurnya, aku tidak bahagia melihat kalian berdua. Apalagi melihat kalian bersatu.
~
Sialnya, ia amat menarik. Ia membalas tatapanku dengan ekspresi yang sama. Sama-sama mengharapkan untuk bersatu lagi. Demikianlah makna tersirat yang mampu kutangkap dari sorot mata beningnya. Maka, pada tatapan terakhirku yang dahsyat di sore ini, kuucapkan tegas pada Risa.
“Kita menikah saja saat ini juga!”

By: Desi Umi Nurany (Pengajar)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *